TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA

BLOG PALING POPULER

Kamis, 07 Januari 2010

Pengertian Khulu’

Kata “Khulu” berasal dari bahasa arab " "خلعا “yang merupakan berntuk mashdar dri kata kerja “ خلع , خلع يظح . karena itu خلع ditinjau dari segi bahas berarti" ا لنٌزع“ yaknii “mencabut” (Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad Husaini,t.t.:79). Anshari Umar (1986: 432) menyatakan baha khulu’ yang memabagi brasal dari kata kerja “ خلع , artinya “melukar”, yakni menceraikan isteri dengan mendapatkan uang tebusan. Sayyid Sabiq (1973: 295) menegaskakan bahw khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari rangkai kata“ خلع ا لثوب “ menaggalkan pakaian”. Karena di dalam Al-Qur’an ikatan perkawinan digambarkan sebagai pakaian pihak kedua dan begitu pula sebaliknya. Hal ini diteaskan dalam firman Allah surat Al-baqarah ayat 187 sbb:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Artinya “mereka (isteri-isteri) adalah pakaian bagi kamu dan kamu pun pakaian bagi mereka”(Depag RI., 1989: 45).
Oleh karena itu pemutusan perkawinan di antara suami isteri ada yang dinamakan dengan “khulu”, artinya “pelepasan”, seolah melepaskan pakaian (Kuzari, 1995: 135). Khulu’ dinamakan juga “ , artinya “tebusan”. Karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalika apa yang pernah diterimanya atau mahar kepada suaminya.
Makna “khulu’” menurut istilah, Al-Jaziry (1989: 387-392) menyatakan bahwa ke empat madzhab mempunyai rumusan definisi masing-masing. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa “khulu’” adalah
الْخُلُعُ هُوَ إِزَالَةُ مِلكِ النِكَاحِ الْمُتَوْفَقَةِ عَلَى قَبُوْلِ الْمَرْأَةِ بِلَفْظِ الْخُلْعِ أَوْ مَا فىِ مَعْنَاهُ
Artinya, “khulu’” itu adalah hilangnya pemilikan terhadap pernikahan yang telah disepakati dengan penerimaan seorang peremmpuan terhdap lafadz khlu’ atau kata lain yang semakna”.






Ulama Malikiyah menuturkan bahwa “khulu” ialah:
الْخُلُعُ شَرْعًا هُوَ الطَّلاَّقُ بِعِوَض
Artinya, “khulu’ menurut syara’ adalah thalaq dengn tebusan. Ulam Syafi’iyah berpendirian bahwa”khulu’” adalah:
الْخُلُعُ شَرْعًا هُوَ اللَّفْظُ الدَّالُ عَلَى الفِرَاقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ بِعِوَضٍ مُتَوَفِرَةٍ فِيْهِ الشُّرُوْطُ
Artinya, “khulu” menurut syara’ ialah lafadz yang menunjukkan adanya perceraian antan suami isteri deng suatu tebusan yang memenuhi syarat yang telah ditentukan”.
Ulama Hanabilah mengungkapkan bahwa “khulu’” ialah:
الْخُلُعُ هُوَ فِرَاقُ الزَّوجِ امْرَأَتَهُ بِعِوَضٍ يَأخُذُهُ الزَّوْجُ مِنْ اِمْرَأَتِهِ أَوْ غَيْرِهَا بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
Artinya, “khulu’ adalah seorang suami menceraikan seorang isteri dengan tebbusan yang diterima suami tersebut dari isterinya atau yan lainnay dengn lafadz yang telah ditentukan”.
Ke empat pendapat yang dingka oleh empat golongan mazhab di atas ditarik kesamaan bahwa pada esensinya khulu’ itu adalah pereraian yang disertai dengan tebusan dari pihak isteri symbol pengembalian dari apa yang pernah diterimanya. Karenanya sayyid Sabiq (1973: 295) menegaskan bahwa khulu’ adalah:
بِأَنَّهُ فِرَاقُ الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ بِمَا يَتَبَدَّلُ يُحْصَلُ لَهُ
Artinya, “isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.
Lebih lanjut, Baniel S. Lev (Noeh, 1986: 210) menuturkan bahwa khulu’ adalah suatu perceraian di mana seorang isteri membayar sejumlah uang sebagai iwadl (pengganti) kepada suaminya. dengan bahasa yang sedikit berbeda, indra (1994: 113) menyatakan bahwa khulu’ ini ialah suatu perbuatan yang dilakukan oleh si isteri dengan mengembalikan maskawin kepada suami yang dengan demikian perkawinan dihentikan. Sisi lain, Soemiyati (1986: 110) dan Thalib (1982: 115) mengungkapkan bahwa khulu’ adalah perceraian berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya talaq satu kali, thalaq dari suami kepada si istri yang menginginkan ceraii dengan khulu’. Memang dapat dipahami urgensinya menonjolkan hadirnya “tebusan dari pihak istri” dalam khulu’ karena memang khulu’ itu adalah hak isteri, lagi pula jika tidak ada tebusan istilahnya bukan khulu’ lagi melainkan thalaq atau yang lainnya.


Hukum Khulu’
Islam membolehkan seorang perempuan memutuskan ikatan perkawinannya dengan jalan khulu’, dengan memberikan kembali kepada suami apa yang pernah diberikan suami kepadanya untuk memutuskan perkawinannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 229:
                                      …
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya…”

Dari ayat al-Quran tersebut, diperoleh ketentuan bahwa apabila sudah tidak ada persesuaian antara suami-istri dalam hidup perkawinannya dan keadaannya sudah sedemikian rupa sehingga tidak tertahankan lagi, dan istri menghendaki perceraian, maka istri dapat minta thalaq kepada suaminya dengan memberi tebusan kepada suaminya, harta yang pernah diterimanya sebagai maskawin (Soemiyati, 1986: 110).
Landasan khulu’ menurut al-Sunnah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a sebagai berikut:
جَاءَت اِمرَأَةٌ ثَابِتِ بْنِ قَيْشٍ بْنِ شَمَّاسٍ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَت: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنىِّ لاَ أَعِيْبَ عَلَيْهِ فىِ خُلُقٍ وَلاَ دِيْنٍ، وَلَكِنَّ أَكرَهُ الْكُفْرَ فىِ الإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَيَّدِيْنَ عَلَيْهِ حَدِيَقَتَهُ، قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِقْبَلِ الحَدِيَقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيْقَةً
“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas telah datang kepada Rasulullah Saw lalu berkata: “Ya Rasulullah, saya bukan mencela suami saya itu, baik mengenai akhlak maupun agamannya. Akan tetapi saya tidak menyukai kekafiran dalam Islam”. Maka bertanyalah Rasulullah kepadanya, “Maukah kau menyerahkan kembali kepadanya kebunnya?” “Ya”, jawab wanita itu. Maka sabda Rasulullah Saw, “Terimalah kebun itu (hai Tsabit) dan jatuhkanlah thalaq satu kepadanya” (Umar, 1986: 432-433).

Kata-kata, “Saya tidak menyukai kekafiran dalam Islam”, maksudnya, tidak suka mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta yang amat sangat terhadapnya”.
Rukun Khulu’ dan Syarat-syaratnya
Al-Jaziry (1989: 398) menguraikan bahwa rukun khulu’ itu ada 5 (lima), yakni:
1) multazim al-‘iwadl, maksudnya orang yang mesti mengeluarkan harta, baik sang istri atau yang lainnya,
2) farj seorang suami mempunyai hak milik untuk menikmatinya, yaitu fajr sang istri; apabila suami telah menthalaq istrinya dengan thalaq ba’in yang menghilangkan hak milik, maka tidak sah khulu’nya;
3) ‘iwadl (pengganti), yakni harta yang diserahkan kepada suami,
4) suami dan
5) al-‘ishmah. Jika salah satu di antara kelima rukun ini tidak ada, maka tidak dibenarkan terjadinya khulu’.
Mengenai syarat-syarat kebolehan terjadinya khulu’, maka di antaranya ada yang berkaitan dengan kadar harta yang boleh dipakai untuk mengkhulu’, ada yang berkaitan dengan sifat (keadaan) di mana khulu’ boleh dilakukan, dan ada pula yang berkaitan dengan keadaan wanita yang mengkhulu’ atau keadaan wali-wali bagi wanita-wanita yang tidak boleh bertindak sendiri. Maka di sini terdapat empat persoalan.
1. Kadar harta yang boleh dipakai untuk mengkhulu’
Mengenai kadar harta yang boleh dipakai untuk mengkhulu’, Imam Malik, Syafi’i dan segolongan fuqhaa berpendapat bahwa seseorang istri dapat melakukan khulu’ dengan memberikan harta yang lebih banyak dari mahar yang diterimanya dari suaminya, jika kedurhakaannya (nusyuz) datang dari pihaknya atau memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Sementara golongan fuqaha lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil lebih banyak dari mahar yang diberikan kepada istrinya, sesuai dengan lahir hadits Tsabit. Sedangkan bagi fuqaha yang mempersamakan kadar harta dalam khulu’ dengan semua pertukaran dalam mu’amalat, maka mereka berpendapat bahwa kadar harta tersebut didasarkan atas kerelaan. Sedang bagi fuqaha yang memegangi lahir hadits, mereka tidak membolehkan pengambilan yang lebih banyak daripada mahar. Seolah mereka menganggap perbuatan tersebut termasuk pengambilan harta tanpa milik (Ibnu Rusyid, 1990: 491).
Dalam menanggapi harta yang bisa dijadikan ‘iwadl (penebusan), al-Jaziry (1989: 406-407) menyatakan bahwa harta penebus itu hendaknya memenuhi tuga syarat berikut: 1) harta itu ada harganya, maka tidak sah khulu’ dengan kadar ‘iwadl yang sedikit yang diperkirakan tidak berharga, seperti sebiji gandum; 2) hendaknya harta itu suci yang sah untuk dimanfaatkan, maka tidak sah penebus dengan khamr, babi atau bangkai dan darah. Lagi pula semua barang tersebut tidak memiliki harga di mata syari’at Islam, 3) harta penebus itu bukan hasil ghashab. Lebih tegas, al-Jaziry (1989: 407) menyatakan bahwa harta ‘iwadl itu bisa berupa uang, barang dagangan, mahar, nafkah iddah atau upah radla’ atau bisa juga upah hadlanah.
2. Sifat harta pengganti
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah mensyaratkan diketahuinya sifat dan wujud harta tersebut. Sedang Imam Malik membolehkan harta yang tidak diketahui wujud dan kadarnya, serta harta yang belum ada, seperti hewan yang lepas atau lari, dan bukan yang belum nampak kebaikannya (belum masak), dan hamba yang tidak diketahui sifat-sifatnya. Dari Imam Abu Hanifah diriwayatkan tentang kebolehan memberikan barang yang tidak jelas, tetapi melarang memberikan barang yang belum ada. Silang pendapat ini disebabkan oleh adanya kemiripan harta penebus di sini (yakni dalam khulu’) dengan harta pengganti dalam jual beli, atau dengan barang-barang hibah, atau dengan wasiat. Bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti dalam khulu’ dengan jual beli, maka mereka mempersyaratkan padanya syarat-syarat yang terdapat dalam jual beli dan pada harta pengganti jual beli. Sedang bagi fuqaha yang mempersamakan harta pengganti pada khulu’ dengan hubah, maka mereka tidak menetapkan syarat-syarat tersebut.
Fuqaha berselisih pendapat tentang khulu’ yang dijatuhkan dengan barang yang haram, seperti minuman keras atau babi, apakah istri harus mengganti atau tidak, setelah mereka sependapat bahwa thalaq dapat terjadi. Imam Malik berpendapat bahwa istri tidak wajib mengganti. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Abu Hafinah. Syafi’i berpendirian, istri wajib mengeluarkan mahar mitsil (Ibnu Rusyd, 1990: 492).
3. Istri dan wali yang boleh mengadakan khulu’
Telah disepakati di kalangan jumhur fuqaha bahwa istri yang cakap boleh mengadakan khulu’ untuk dirinya, sedang hamba perempuan tidak boleh mengadakan khulu’ untuk dirinya kecuali dengan izin tuannya. Disepakati pula bahwa istri yang bodoh (safihah) adalah bersama walinya. Imam Malik berpendirianbahwa seorang ayah boleh mengadakan khulu’ untuk anak perempuannya yang masih kecil, sebagaimana boleh menikahkannya. Demikian pula untuk anak lelakinya yang kecil, karena bagi Imam Malik, ayah tersebut dapat menceraikan atas namanya.
Silang pendapat ini terjadi berkenaan dengan anak lelaki yang masih kecil (di bawah umur). Imam Syafi’i serta Abu Hanifah berpendapat bahwa ayah tidak boleh mengadakan khulu’ atas namanya, karena mereka berpendapat bahwa ayah tersebut tidak boleh menjatuhkan thalaq atas namanya.
Di tengah perbedaan pendapat di atas, al-Jaziry (1989: 398) menegaskan bahwa syarat terpenting bagi istri itu adalah “ahli yang boleh mentasharufkan harta”, yakni berakal, mukallaf dan cerdik, karenanya anak kecil, orang gila, orang safih tidak sah mengkhulu’ suaminya dengan harta.
4. Keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khulu’
Mengenai keadaan-keadaan khulu’, jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami istri, selama kerelaan itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasar kebolehan ini adalah firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 19 sebagai berikut:
…             …
“…dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata…”
Dalam firman-Nya yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 229, Allah pun melegalisasikan kebolehan khulu’, yakni:
…             …
“…jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya…”
Abu Qilabah dan Hasan al-Bashri menyatakan bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu’ atas istrinya kecuali jika ia melihat istri berbuat zina. Dan keduanya mengartikan kata “keji” (dalam ayat di atas) kepada perbuatan zina. Sementara Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu’ kecuali bersyaratkan kekhawatiran bahwa dua suami istri itu tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, berdasarkan lahir ayat. Al-Nu’man menyatakan bahwa khulu’ dapat dijatuhkan meski merugikan.
Dengan demikian, dalam khulu’ terdapat lima pendapat. Pertama, pendapat yang tidak membolehkan sama sekali. Kedua, pendapat yang membolehkan, meskipun merugikan. Ketiga, pendapat yang tidak membolehkan kecuali jika suami melihat istri berbuat zina. Keempat, pendapat yang membolehkan jika terdapat kekhawatiran bahwa suami istri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Kelima, pendapat yang membolehkan, kecuali jika disertai kerugian, maka tidak boleh (Ibnu Rusyd, 1990: 492-493).
Lebih lanjut, Soemiyati (1986: 111) menegaskan bahwa dalam pelaksanannya supaya khulu’ ini menjadi sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perceraian dengan khulu’ itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami istri.
2. Besar kecilnya jumlah uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami istri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, hakim pengadilan agama dapat menentukan jumlah uang tersebut itu. Penetapan hakim pengadilan agama itu hanya mengenai jumlah penebusan cerai, tetapi bukan terjadi atau tidaknya perceraian. Sehingga dengan demikian terjadinya khulu’ itu berupa putusan dan perbuatan suami istri itu sendiri.
Ucapan Khulu’
Para ahli fiqh berpendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata khulu’ atau yang terambil dari kata dasra khulu’ atau kata lain yang punya arti seperti itu, seperti mubara’ah (berlepas diri) dan fidyah (tebusan). Jika tidak dengan khulu’ atau kata lain yang maksudnya sama, misalnya suami berkata terhadap istrinya: “Engkau terthalaq sebagai imbalan daripada barang/uang seharga sekian”. Lalu ia (istri) mau menerimanya. Maka perbuatan seperti ini adalah thalaq dengan imbalan harta, bukan khulu’.
Ibnu al-Qayyim membantah pendapat di atas. Katanya, “Barangsiapa mau memikirkan hakikat dan tujuan akad atau perjanjian bukan hanya melihat kata-kata yang diucapkan saja, tentu akan menganggap khulu’ sebagai nasakh, biar diucapkan dengan kata apapun, sekalipun dengan kata thalaq”. Pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat murid-murid dari Imam Ahmad. Juga pendapat yang terpilih oleh Ibnu Taimiyah. Kemudian Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa hanya melihat dan berpegang kepada lafazh-lafazh itu dan memperhatikannya pula bagiamana adanya hukum akad, tentu akan menafsirkan lafazh “thalaq” untuk “thalaq” saja”. Pendapat ini dilemahkan oleh Ibnu al-Qayyim dengan menyatakan bahwa orang yang membaca Fiqh dan Ushul Fiqh akan dapat menyaksikan bahwa dalam akad yang diperhatikan ialah kata-kata yang diucapkannya. Alasannya ialah bahwa Nabi Saw pernah menyuruh Tsabit bin Qais agar menthalaq seara khulu’ dengan sekali thalaq. Selain itu Nabi Saw menyuruh istri Tsabit beriddah sekali haid. Hal ini jelas menunjukkan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan thalaq. Juga Allah Swt menghubungkannya dengan fidyah, karena memang ada fidyahnya. Sudah maklum bahwa fidyah tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kat akhusus dan Allah pun tidak menetapkan lafazh yang khusus untuk itu. Thalaq dengan tebusan sifatnya terbatas, dan tidak tergolong ke dalam hukum thalaq yang dibolehkan ruju’ kembali dan beriddah dengan tiga kali masa bersih hadits seperti ketentuan sunnah yang sah (Sayyid Sabiq, 1973: 295-296).
Kedudukan Khulu’
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa khulu’ adalah thalaq. Pendapat ini dikemukakan pula oleh Imam Malik. Sedang Imam Abu Hanifah mempersamakan khulu’ dengan thalaq dan fasakh. Sementara Imam Syafi’i berpendirian bahwa khulu’ adalah fasakh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ahmad dan Daud, juga dikemukakan pula oleh Ibnu Abbas r.a dari kalangan sahabat.
Diriwayatkan pula dari Imam Syafi’i bahwa khulu’ adalah kata-kata sindiran (kinayah). Jadi, jika dengan kata-kata kinayah tersebut suami menghendaki thalaq, maka thalaq pun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh. Tetapi dalam Qaul Jadid-nya dikatakan bahwa khulu’ adalah thalaq. Kegunaan pemisahan itu adalah apakah khulu’ itu dihitung dalam bilangan thalaq atau tidak. Jumhur fuqaha yang berpendapat bahwa khulu’ adalah thalaq menjadikannya sebagai thalaq ba’in. demikian itu karena apabila suami dapat merujuk istrinya pada masa iddah, maka penebusannya itu tidak akan berarti lagi. Abu Tsaur berpendapat bahwa apabila khulu’ tidak menggunakan kata-kata thalaq, maka suami tidak dapat merujuk istrinya. Sedang apabila khulu’ tersebut menggunakan kata-kata thalaq, maka suami dapat merujuk istrinya.
Fuqaha yang menganggap khulu’ sebagai thalaq mengemukakan alasan bahwa fasakh itu tidak lain merupakan merupakan perkara yang menjadi suami sebagai pihak yang kuat dalam pemutusan ikatan perkawinan dan yang bukan berasal dari kehendaknya. Sedangkan khulu’ ini berpangkal dari kehendak (ikhtiyar). Oleh karenanya, khulu’ itu bukan fasakh. Akan halnya fuqaha yang tidak menganggap khulu’ sebagai thalaq mengemukakan alasan bahwa dalam al-Quran, mula-mula Allah Swt menyebutkan tentang thalaq, maka firman-Nya yang berarti, “Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali”, kemudian Dua menyebutkan tentang tebusan, yakni khulu’, dan kemudian Dia berfirman yang artinya, “Jika suami menthalaqnya sesudah thalaq dua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga ia kawin dengan suami yang lain” (QS. Al-Baqarah: 229-230). Jika tebusan tersebut adalah thalaq, berarti di mana istri tidak halal lagi bagi suami kecuali sesudah ia kawin lagi dengan lelaki lain itu, menjadi thalaq yang keempat. Mereka berpendapat bahwa fasakh itu dapat terjadi dengan suka sama suka, karena dipersamakan dengan fasakh dalam jual beli, yaitu pengurangan (al-iqalah). Fuqaha yang menentang pendapat ini mengatakan bahwa ayat tersebut memuat kedudukan tebusan (khulu’) sebagai suatu perkara yang dipersamakan dengan thalaq, bukan perkara yang berbeda dengan thalaq. Jadi, silang pendapat ini disebabkan, apakah berkaitannya harta pengganti pada pemutusan ikatan perkawinan ini (khulu’) dapat mengeluarkannya dari jenis pemutusan perkawinan karena thalaq kepada jenis pemutusan perkawinan karena fasakh, ataukah tidak dapat?
Akibat-akibat Khulu’
Mengenai akibat-akibat khulu’ terdapat cabang persoalan yang banyak, namun yang terkenal adalah persoalan, apakah wanita yang menerima khulu’ dapat diikuti dengan thalaq atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan thalaq, kecuali jika pembicaraan bersambung. Sedang Imam Hanafi menyatakan bahwa khulu’ dapat diikuti dengan thalaq, tanpa memisah-misahkan antara segera atau berlambat-lambat. Sementara Imam Syafi’i berpendirian bahwa khulu’ tidak dapat diikuti dengan thalaq meski pembicaraan bersambung. Silang pendapat ini disebabkan karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum thalaq, sedang Imam Abu Hanifah berpendapat termasuk hukum nikah, dan oleh karenanya ia tidak membolehkan seseorang mengawini seorang perempuan yang saudara perempuannya masih dalam masa iddah dari thalaq ba’in. krenanya bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk hukum nikah, mereka berpendapat bahwa khulu’ tersebut dapat diikuti dengan thalaq. Sedang bagi fuqaha yang tidak berpendapat demikian, mereka mengatakan bahwa khulu’ tersebut tidak dapat diikuti dengan thalaq.
Persoalan lain adalah, jumhur fuqaha telah sependapat bahwa suami yang menjatuhkan khulu’ tidak dapat merujuk bekas istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab dan Ibnu Syihab, di mana keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalikan apa (tebusan) yang telah diambil dari istrinya, maka ia dapat mempersaksikan rujukannya itu. Persoalan lainnya adalah jumhur fuqaha telah sependapat bahwa suami dapat mengawini bekas istrinya (yang dikhulu’) pada masa iddahnya dengan persetujuannya. Segolongan fuqaha mutaakhirin berpendirian bahwa baik suaminya maupun orang lain tidak boleh mengawininya pada masa iddahnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh persoalan, apakah larangan nikah pada masa iddah termasuk perkara ibadah (yang tidak dapat dijelaskan alasannya), ataukah termasuk perkara ibadah, bahkan dapat dijelaskan alasannya?

4 komentar:

  1. minta solusi na dong unutk khulu ini

    BalasHapus
  2. boleh mas. yang jelas modal utama biar nggak kena yang namanya khulu atau gugat cerai si suami harus kuat secara fisik, materi dan pengetahuan insya allah yang namaya khulu atau lebih di kenal gugat cerai nggak bakalan terjadi..
    gugat cerai sang istri bisa di percayai kalau gugatannya beralasan secara hukum dan undang-undang yang berlaku. jikalau tidak terbukti maka si istri harus membuktikannya

    BalasHapus
  3. kalau gugatan cerai yang diajukan istri dan dikabulkan suami tanpa adaanya tebusan dan hanya berupa kesepatan cerai yang ditanda tangani diatas materai, bagaimana apakah termasuk khulu' yang tidak sah ataukah sudah jatuh talak?

    terima kasih

    BalasHapus
  4. Secara hukum itu tidak sah, karena harus ada harus pengembalian mahar dari istri

    BalasHapus